Heritabilitas Pada Tanaman
Heritabilitas merupakan salah satu pertimbangan paling penting dalam melakukan evaluasi tanaman, metode seleksi dan system persilangan. Heritabilitas secara lebih spesifik merupakan bagian dari keragaman total pada sifat – sifat yang disebabkan oleh perbedaan genetic diantara individu – individu tanaman yang diamati.
Heritabilitas merupakan perbandingan antara ragam genetic terhadap ragam fenotipik, dengan ragam fenotipik dipengaruhi oleh factor genetic dan lingkungan.
Variasi genetik, Heritabilitas , Dan kolerasi Genotipik Sifat – sifat Penting Tanaman wijen (Sesamum indicum L.)
Penelitian ini merupakan pengujian terhadap genotip-genotip hasil persilangan tanaman wijen, dengan tujuan mendapatkan informasi mengenai variasi genetik, heritabilitas, dan korelasi genotipik beberapa sifat penting hasil persilangan tanaman wijen. Penelitian dilakukan di Kebun
Percobaan Pasirian, Lumajang, Jawa Timur pada bulan April 2002 – Agustus 2003. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) sebagian besar sifat yang diamati mempunyai variasi genetik yang cukup besar, (2) nilai heritabilitas (dalam arti luas) tinggi terdapat pada sifat tinggi tanaman,
umur berbunga, umur panen, jumlah cabang per tanaman, jumlah polong per tanaman, panjang polong, berat 1000 biji, dan hasil biji per hektar, sehingga dapat digunakan sebagai kriteria seleksi pada generasi awal, dan (3) korelasi genotipik terhadap hasil biji per hektar terjadi pada sifat tinggi tanaman dan berat 1000 biji pada persilangan Sbr 1 X Si 13, sedangkan
pada persilangan Sbr 1 X Si 22, dan Sbr 1 X Si 26 terjadi korelasi genotipik antara hasil biji per hektar dengan tinggi tanaman dan jumlah cabang per tanaman.
Wijen merupakan tanaman penghasil biji yang digunakan untuk pendukung utama aneka industri termasuk industri makanan dan minyak makan yang berkadar lemak jenuh rendah, sehingga cocok dikonsumsi bagi penderita kolesterol tinggi (DESAI dan GOYAL, 1981). Minyak wijen pada umumnya dapat digunakan sebagai minyak salad dan minyak goreng. Di samping itu minyak wijen mengandung anti oksidan, sesamin dan sesamolin, sehingga dapat
disimpan lebih dari satu tahun (SUDDIYAM dan MANEEKHAO, 1997).
Di Indonesia produksi wijen mulai tahun 1987 mulai menurun, sehingga pada tahun 1988 mengimpor sebesar 940.450 ton biji dan 133.729 ton minyak (BPS, 2001). Selanjutnya pada tahun 2001 sekitar 10.265 ton, sedangkan produksi dalam negeri hanya 10.000 ton. Produktivitas wijen di tingkat petani masih sangat rendah, rata-rata 350 kg per hektar (SUPRIJONO et al., 1994). Hasil tersebut masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara penghasil wijen lainya. DESAI dan GOYAL (1981) menyatakan bahwa di India mampu menghasilkan antara 1.200 – 1.400 kg per hektar, sehingga produtivitas wijen di Indonesia perlu ditingkatkan. Salah satu usaha perbaikan wijen adalah dengan melakukan seleksi pada suatu populasi dengan keragaman genetik cukup tinggi. Apabila suatu karakter memiliki keragaman genetik cukup tinggi, maka setiap individu dalam populasi hasilnya akan tinggi pula, sehingga seleksi akan lebih mudah untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan. Oleh sebab itu, informasi keragaman genetik sangat diperlukan untuk memperoleh varietas baru yang diharapkan (HELYANTO et al., 2000).
Variasi genetik akan membantu dalam mengefisienkan kegiatan seleksi. Apabila variasi genetik dalam suatu populasi besar, ini menunjukkan individu dalam populasi beragam sehingga peluang untuk memperoleh genotip yang diharapkan akan besar (BAHAR dan ZEIN, 1993). Sedangkan pendugaan nilai heritabilitas tinggi menunjukkan bahwa faktor pengaruh genetik lebih besar terhadap penampilan fenotip bila dibandingkan dengan lingkungan. Untuk itu informasi sifat tersebut lebih diperankan oleh faktor genetic atau faktor lingkungan, sehingga dapat diketahui sejauh mana sifat tersebut dapat diturunkan pada generasi berikutnya.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai variasi genetik, heritabilitas, dan korelasi genotipik sifat-sifat penting tanaman wijen. Hasil dari penelitian ini sangat penting dalam program pemuliaan tanaman wijen.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Tanaman Tembakau dan Serat Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur dengan ketinggian 110 m di atas permukaan laut, jenis tanah Regosol dengan pH 5,5 – 6,5. Penelitian dilaksanakan bulan April 2002 – Agustus 2003. Rancangan lingkungan yang digunakan dalam penelitian adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 10 genotip berasal dari 4 genotip tetua yaitu P1 varietas Sbr 1 sebagai tetua betina, P2 (galur Si 13), P3 (galur Si 22), dan P4 (galur Si 26) sebagai tetua jantan, 3 genotip berasal dari F1 hasil persilangan Sbr 1 x Si 13, Sbr 1 x Si 22 dan Sbr 1 x Si 26, 3 genotip berasal dari F2 hasil persilangan Sbr 1 x Si 13, Sbr 1 x Si 22 dan Sbr 1 x Si 26 diulang 3 kali sehingga diperoleh 30 petak percobaan di mana setiap petak berukuran 4 x 10 m dengan jarak tanam 60 x 25 cm. Pengamatan dilakukan pada 100 tanaman contoh setiap petak. Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman pada umur 30, 60 dan 90 HST, umur berbunga, umur panen, jumlah cabang per tanaman, jumlah polong per tanaman, panjang polong, jumlah biji per polong, berat 1.000 biji dan hasil biji per hektar. Tetua jantan mempunyai sifat tahan penyakit busuk pangkal batang, dan ruang polongnya lebih besar. Sedangkan tetua betinanya mempunyai sifat produksi tinggi tapi rentan terhadap penyakit dan ruang polongnya lebih pendek. Variasi genetik untuk semua sifat yang diamati dihitung dari koefisien keragaman genetik dan koefisien keragaman fenotip menurut rumus SINGH dan CHAUDARY (1977) sebagai berikut :
Keragaman fenotip
√σ2f
KVF = x 100%
X
Keragaman genotip
√σ2g
KVG = x 100%
X
di mana :
σ2f = ragam fenotip
σ2g = ragam genetik
X = rata-rata umum
Berdasarkan kriteria MILIGAN et al. (1996), koefisien keragaman genetik dibagi dalam tiga kategori yaitu :
- Besar (KVG ≥ 14,5%)
- Sedang (5% ≤ KVG < 14,5%)
- Kecil (KVG < 5%)
Pendugaan nilai heritabilitas dalam arti luas untuk sifat-sifat yang diamati, diduga dengan menggunakan rumus menurut ALLARD, (1960) :
σ2F2 – (σ2P1 + σ2P2 + σ2F1)/3
h2 =
σ2F2
di mana :
h2 = heritabilitas dalam arti luas
σ2F1 = ragam populasi F1
σ2F2 = ragam populasi F2
σ2P1 = ragam populasi P1
σ2P2 = ragam populasi P2
Selanjutnya heritabilitas diklasifikasikan menurut MC WHIRTER, (1979), sebagai berikut:
- Tinggi (H ≥ 0,50)
- Sedang (0,20 ≥ H > 0,50)
- Kecil (H < 0,20)
Untuk mengetahui keeratan hubungan secara genetic antara karakter yang diamati digunakan rumus korelasi sederhana dari SINGH dan CHAUDARY (1977). Di mana koefisien genotipik pasangan sifat-sifat adalah sebagai berikut :
kov.fxy
rfxy =
(σ2fx.σ2fy)0,5
kov.gxy
rgxy =
(σ2gx.σ2gy)0,5
di mana :
rfxy = korelasi fenotip antara sifat x dan sifat y
rgxy = korelasi genetik antara sifat x dan sifat y
kov.fxy = kovarian fenotip antara sifat x dan sifat y
kov.gxy = kovarian genetik antara sifat x dan sifat y
σ2yx = ragam fenotip sifat x
σ2gx = ragam genetik sifat x
σ2yy = ragam fenotip sifat y
σ2gy = ragam genetik sifat y
Keberhasilan koefisien korelasi di atas dilakukan berdasarkan t-student dari SINGH dan CHAUDARY, (1977) sebagai berikut :
rfxy
t =
(1-r2 fxy/db)0,5
rgxy
t =
(1-r2 gxy/db)0,5
di mana :
rfxy = korelasi fenotip sifat x dan y
rgxy = korelasi genetik sifat x dan y
r2 fxy = kuadrat korelasi fenotip sifat x dan sifat y
r2 gxy = kuadrat korelasi genetik sifat x dan sifat y
db = derajat bebas (n-2)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada umumnya nilai Koefisien Variasi Genetik (KVG) menunjukkan kriteria sedang sampai tinggi pada ketiga persilangan, kecuali umur panen dan berat 1.000 biji pada persilangan Sbr 1 X Si 13, umur panen dan jumlah cabang per tanaman pada persilangan Sbr 1 X Si 22, sedangkan pada persilangan Sbr 1 X Si 26 nilai Koefisien Variasi Genetik kecil terdapat pada sifat umur berbunga, jumlah cabang per tanaman, dan berat 1.000 biji (Tabel 1), sehingga dapat dikatakan bahwa Koefisien Variasi Genetik mempunyai nilai cukup tinggi. Keadaan ini menunjukkan bahwa sebagian besar sifat yang diamati dari ketiga persilangan memperlihatkan peluang terhadap usaha-usaha perbaikan yang efektif melalui seleksi dengan memberikan keleluasaan dalam memilih genotip-genotip yang diinginkan, melalui penggalian kombinasi genetik-genetik baru. Selanjutnya RASYAD (1996) mengemukakan bahwa nilai koefisien keragaman genetik tinggi, maka factor genetik akan berpengaruh besar pada penampilan sifat tersebut. Nilai heritabilitas dalam arti luas untuk sifat tinggi tanaman dan umur panen dari ketiga persilangan mempunyai nilai tinggi.
Hal ini berarti bahwa peranan faktor genetic pada penampilan fenotip sangat besar, atau peranan lingkungan pada penampilan tersebut kecil. Sedangkan sifat umur berbunga, jumlah cabang per tanaman, jumlah polong per tanaman, panjang polong, berat 1.000 biji, dan hasil biji
per tanaman meskipun ada variasi heritabilitasnya dari ketiga persilangan tetapi nilainya masih tinggi karena hanya satu persilangan yang nilai heritabilitasnya sedang. Ini berarti peranan genetik masih tinggi dan seleksi dapat dilakukan pada generasi awal.
HANSON (1963) menyatakan nilai heritabilitas dalam arti luas menunjukkan genetik total dalam kaitannya keragaman genotip, sedangkan menurut POESPODARSONO (1988), bahwa makin tinggi nilai heritabilitas satu sifat makin besar pengaruh genetiknya dibanding lingkungan. Untuk sifat jumlah biji per polong pada ketiga persilangan nilai heritabilitasnya sedang. Hal ini menunjukkanbahwa sifat ini tidak dapat digunakan sebagai criteria seleksi pada generasi awal, seleksi pada sifat tersebut lebih baik dilakukan pada generasi lanjut.
Hasil biji per hektar merupakan komponen utama tanaman wijen yang penting karena bernilai ekonomis. Hasil biji merupakan sifat yang diwariskan secara kuantitatif dan dikendalikan oleh banyak gen yang masing-masing mempunyai pengaruh sangat kecil. Dengan demikian seleksi yang ditujukan untuk perbaikan sifat hasil biji per hektar mempertimbangkan sifat-sifat yang lain (POESPODARSONO, 1988). Dalam menentukan sifat-sifat yang ada kaitannya dengan sifat yang dituju, maka diperlukan informasi hubungan antara sifat-sifat tersebut dengan sifat-sifat yang akan diperbaiki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi genotipik antara sifat hasil biji per hektar dengan sifat-sifat yang lain bervariasi pada ketiga persilangan, di mana korelasi genotipik berkisar dari – 0,59 sampai 0,99 (Tabel 1). Pada persilangan Sbr 1 X Si 13 terjadi korelasi genotipik positif nyata pada sifat tinggi tanaman, jumlah cabang per tanaman, dan jumlah biji per polong. Sedangkan pada persilangan Sbr 1 X Si 22 terjadi korelasi genotipik positif nyata antara hasil biji per hektar dengan tinggi tanaman dan jumlah biji per polong, serta korelasi genotipik positif sangat nyata dengan jumlah cabang per tanaman dan berat 1000 biji. Adanya hubungan antar satu sifat atau lebih sangat baik sebagai indikator untuk memperbaiki suatu sifat melalui sifat lainnya (PERMADI et al.,1993). Selanjutnya pada persilangan Sbr 1 X Si 26 terjadi korelasi genotip positif nyata antara hasil biji per hektar dengan jumlah polong per tanaman dan jumlah biji per polong, serta korelasi genotipik positif sangat nyata pada sifat berat 1.000 biji.
Penggunaan kriteria seleksi melalui korelasi sifat antara hasil biji per hektar dengan sifat penting lain lebih mantap apabila sifat-sifat yang dikorelasikan tersebut mempunyai nilai heritabilitas yang tinggi. Pada persilangan Sbr 1 X Si 13 sifat tinggi tanaman dan jumlah per tanaman dapat digunakan sebagai kriteria seleksi tidak langsung untuk meningkatkan hasil biji per hektar, karena selain mempunyai nilai korelasi genotipik positif nyata juga mempunyai nilai heritabilitas tinggi. Sedangkan pada persilangan Sbr 1 X Si 22 sifat tinggi tanaman dan berat 1000 biji dapat digunakan sebagai kriteria seleksi tidak langsung untuk meningkatkan hasil biji per hektar. Selanjutnya pada persilangan Sbr 1 X Si 26 sifat berat 1.000 biji dapat digunakan kriteria seleksi tidak langsung untuk meningkatkan hasil biji per hektar.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat-sifat yang diamati pada ketiga persilangan wijen memiliki variasi genetik yang cukup besar seperti sifat tinggi tanaman, jumlah buah, jumlah cabang, berat 1.000 biji dan hasil biji per hektar sehingga memberikan peluang terhadap usahausaha perbaikan genetik melalui seleksi maupun perbaikan genotip baru. Untuk seleksi tanaman wijen dari ketiga persilangan perlu memperhatikan sifat tinggi tanaman dan jumlah cabang pada persilangan Sbr 1 X Si 13, sifat tinggi tanaman dan berat 1.000 biji pada persilangan Sbr 1 X Si 22, serta sifat berat 1.000 biji pada persilangan Sbr 1 X Si 26, karena sifat-sifat tersebut mempunyai nilai koefisien korelasi genotipik dengan hasil biji per hektar dan mempunyai nilai heritabilitas tinggi.
Penetapan Kadar air Benih
Cara penetapan kadar air yang berada pada tempat PKL saya di PP kerja Boyolali adalah :
Cara yang digunakan untuk mengetahui kadar air yang ada dalam benih padi adalah dengan menggunakan alat yang simpel yaitu :
Mouisture tester.Gambar dari alat tersebut adalah
Jadi pengujian yang kami lakukan adalah secara internal, dari hasil pengukuran kadar air yang kami lakukan akan kami bandingkan dengan hasil uji pihak BPSB, salah satu contoh yang dari kami lakukan adalah pengukuran kadar air pada padi ciherang dengan no lot 603/ Pndk.S.XII.08 hasil kadar air yang kami ukur adalah 10,3% sedangkan hasil dari pihak BPSB adalah 10.2% .
Jumlah dari mouisture tester yang ada di PP Kerja berjumlah 2. Dari penggunaan alat yang telah kami lakukan ini, hanya pada jenis benih padi. Tapi pada alat tersebut tertulis 5 jenis benih yang bisa diukur kadar airnya dengan alat tersebut.
Cara penetapan kadar air dengan moisture tester :
• Benih padi yang diambil contoh benihnya, dimasukkan dalam plastik yang kedap udara. Benih padi yang diambil contohnya ini, sebelumnya adalah benih padi yang akan diuji oleh pihak BPSB.
• Tempat dari mouisture tester sebelumnya dibersihkan terlebih dahulu,agar tidak mempengaruhi hasil dari kadar air benih padi.
• Letakkan benih padi pada wadah moisture tester, lalu masukkan
• Kemudian tekan pada bagian atas dengan cara memutar – mutar alat penggiling, sampai terdengar suara benih yang telah hancur.
• Tekan pada tombol merah dan arahkan pada tulisan jenis benih padi.
• Catat hasil kadar air benih padi, kemudian masukan pada buku catatan pengujian internal PP Kerja, agar hasilnya dapat dibandingkan dengan hasil pengujian dari BPSB.
Cara penetapan kadar air di BPSB satgas wil III Kediri yaitu dengan Metode Oven :
Gambar 4. Oven
Prosedur Kerja :
Langkah kerja dari penetapan kadar air benih adalah sebagai berikut:
1. Membersihkan alat dan cawan sebelum dipakai. Bila cawan dan tutup basah, maka harus dikeringkan dulu dalam oven pada suhu 130o C selama 1 jam
2. Meletakkan cawan dalam desikator selama ± 1 jam
3. Menyalakan oven dan mengatur suhunya hingga mencapai 130 o C-133 o C
4. Menimbang cawan serta tuttup sebelum digunakan (M1)
5. Menimbang benih sebanyak 5 gram
6. Menghancurkan benih menggunakan grinder
7. Menimbang cawan + tutup + benih (M2)
8. Memasukkan cawan ke dalam oven lalu ditutup dan dikeringkan selama 1 jam pada suhu 130 o C-133 o C
9. Setelah 1 jam cawan didinginkan dalam desikator selama ± 45 menit
10. Menimbang cawan + tutup + benih setelah dioven (M3)
11. Menghitung persentase kadar air benih dengan rumus sebagai berikut:
12. mencatat hasil persentase kadar air benih pada buku kadar air yang dinyatakan dalam persentase dan ditulis dalam satu desimal
13. penetapan kadar air benih dilakukan secara duplo (dua kali ulangan)
Dengan menggunakan Dole 400
Gambar 5. Dole 400
Prosedur kerja
Langkah Kerja Dole 400 antara lain :
Pastikan Dole 400 dalam keadaan stabil.
Timbang berat contoh yang akan diukur kadar airnya sebanyak 140 gr.
Masukkan contoh benih yang sudah ditimbang pada corong pemasukan.
Lihat terlebih dahulu thermometer pengukur suhu danlihatlah berapa suhunya.
Arahkan jarum penunjuk pada keadaan stabil
Pencet tombol warna hitam di bagian bawah sambil arahkan jarum pengukur hingga berada tepat ditengah.
Lihat point sesuai dengan pengukuran kadar air benih yang sedang diuji.
Baca dan catat skala hasil pengukuran
Keluarkan contoh bneih dengan menekan tombol yang berada dekat thermometer.
Bersihkan kembali Dole 400 untuk siap digunakan kembali.
Pertanian organik dapat meminimalisasikan dampak perubahan iklim di bumi “
Memasuki abad 21, masyarakat dunia mulai sadar bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian. Orang semakin arif dalam memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. Gaya hidup sehat dengan slogan “Back to Nature” telah menjadi trend baru meninggalkan pola hidup lama yang menggunakan bahan kimia non alami, seperti pupuk, pestisida kimia sintetis dan hormon tumbuh dalam produksi pertanian. Pangan yang sehat dan bergizi tinggi dapat diproduksi dengan metode baru yang dikenal dengan pertanian organik.
Pada saat yang sama, pertanian organik merupakan solusi yang bisa diharapkan dapat meminimalisasi dampak perubahan iklim akibat pemanasan global bumi. Pertanian organik adalah sistem pertanian yang berorientasi ekologi, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Sistem pertanian ini berpijak kepada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi dengan memperhatikan kemampuan alami dari tanah, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas baik bagi hasil pertanian maupun lingkungan. Beberapa bukti juga menjelaskan bahwa pertanian organik dapat meminimalisasi dampak perubahan iklim, diantaranya:
Pertanian organik sebagai sistem pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan ternyata tidak hanya menghasilkan produk yang sehat. Pertanian yang mengutamakan keselarasan alam ini juga mempunyai potensi dalam mitigasi perubahan iklim. Penggunaan pupuk organik ternyata mampu mengurangi sekitar 30 % emisi gas rumah kaca (GRK) dan menghemat 16 % energi global. Tanpa penggunaan pupuk N akan mengurangi emisi nitroksida 5%. Laporan United Nations Food and Agriculture Organisation (FAO) 2002 menyebutkan, pertanian organik menyebabkan ekosistem mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim dan berpotensi mengurangi gas rumah kaca pertanian. Pertanian organik juga lebih efisien daripada pertanian konvensional per skala hektar berkaitan dengan konsumsi pupuk dan pestisida sintesis.
Pertanian organik menggunakan energi fosil lebih rendah dibandingkan pertanian konvensional. Dalam pertanian organik yang mengutamakan produksi konsumsi dan distribusi di tingkat lokal, menyebabkan energi yang dikeluarkan untuk mengangkut produk terutama melalui udara lebih rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di tahun 2001, emisi gas GRK terkait transportasi pangan dari ladang lokal ke pasar petani, 650 kali lebih rendah dibandingkan emisi yang berkaitan dengan penjualan produk di pasar swalayan.
Sementara itu uji coba yang dilakukan Rodale Institute menunjukkan, penggunaan energi dalam sistem konvensional 200% lebih tinggi daripada sistem organik. Sedangkan penelitian di Finlandia menyebutkan bahwa walaupun pertanian organik menggunakan jumlah jam mesin yang lebih banyak daripada pertanian konvensional, konsumsi energi keseluruhan di pertanian organik tetap paling rendah.
Penggunaan pupuk organik juga dapat mengurangi pelepasan nitrogen (N). Dengan menggunakan sistem pemulsaan dan pupuk serasah, penyerapan N bergerak di tanah terjadi secara efisien. Pemulsaan dan pupuk serasah dapat berfungsi untuk:
o Menghemat air.
o Mencegah nutrisi dalam tanah mengalami pencucian dan penghanyutan oleh air hujan.
o Menghambat pertumbuhan gulma.
o Mencegah penyakit tanaman yang timbul akibat percikan air tanah oleh air hujan.
o Menjadi sumber humus.
o Memperlancar kegiatan jasad renik tanah seperti cacing tanah yang sangat membantu petani dalam penyuburan tanah.
o Mengurangi erosi tanah.
o Menghambat evaporasi (penguapan) tanah yang berlebihan karena adanya bahan pelindung terhadap radiasi matahari.
o Memperbesar kapasitas penyerapan air ke dalam pori-pori tanah.
o Mempertahankan kelembaban dan suhu tanah sehingga mendorong penyerapan unsur hara oleh akar-akaran.
o Mulsa yang telah lapuk akan memperkaya bahan organik tanah, sehingga dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah.
Pertanian organik dapat membantu menstabilkan perubahan iklim dengan mempertahankan kualitas tanah organik seperti mengurangi erosi tanah dan meningkatkan struktur fisik tanah. Tanah organik akan lebih baik menyimpan air sehingga dapat menahan dampak perubahan iklim seperti kekeringan dan banjir.
Pertanian organik dapat mengoptimalkan jumlah dan aplikasi pupuk organik, mengintegrasikan produksi tanaman dengan binatang ternak dan daur ulang sampah organik secara sistematis, memperbaiki teknik pengolahan sampah organik untuk menghasilkan pupuk berkualitas tinggi, yaitu dengan melakukan pengomposan hewan dan tanaman. Dengan melalui pengomposan pelepasan residu dalam proses humification diminimalkan, selain itu pengomposan juga dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam mengikat C di bawah tanah. Sehingga dapat mengurangi CO2 di atmosfir. Selain itu pergiliran tanaman dan penanaman tanaman polong-polongan sebagai karakteristik pertanian organik juga membantu meningkatkan karbon organik tanah (oil organic carbon atau SOC). Hasil studi 20 perusahaan komersial California menemukan bahwa lahan organik mengandung 28 % lebih karbon organik. Demikian juga hasil uji coba Rodale Institute bahwa karbon tanah meningkat pada sistem organik setelah 15 tahun namun tidak pada sistem konvensional. Setelah 22 tahun, sistem pertanian organik rata-rata 30 % lebih tinggi kandungan organiknya daripada sistem konvensional.
Jadi Pertanian organik adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis. Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat demikian telah melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Preferensi konsumen seperti ini menyebabkan permintaan produk pertanian organik dunia meningkat pesat. Dan dengan menggunakan pertanian organik juga dapat meminimalisasikan dampak perubahan iklim di bumi.
“ Manfaat Klimatologi Bagi Pertanian “
Pengertian Klimatologi
Klimatologi adalah ilmu yang mempelajari iklim, dan merupakan sebuah cabang dari ilmu atmosfer. Dikontraskan dengan meteorologi yang mempelajari cuaca jangka pendek yang berakhir sampai beberapa minggu, klimatologi mempelajari frekuensi di mana sistem cuaca ini terjadi.
Dalam kehidupan sehari-hari, iklim akan mempengaruhi jenis tanaman yang sesuai untuk dibudidayakan pada suatu kawasan, dan teknik budidaya yang dilakukan petani. Dengan demikian pengetahuan iklim sangat penting artinya dalam sektor pertanian. Hal ini tercermin dengan berkembangnya cabang klimatologi dan meteorology yang khusus dikaitkan dengan kegiatan pertanian yang disebut klimatologi pertania.
Iklim akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia dan organisme lain yang hidup di muka bumi. Jenis dan sifat Iklim juga akan mempengaruhi jenis tanaman yang sesuai untuk dibudidayakan pada suatu kawasan serta produksinya, penjadwalan budidaya pertanian, dan teknik budidaya yang dilakukan petani. Pengetahuan tentang iklim sangat penting artinya dalam sektor pertanian.
Manfaat Klimatologi Bagi Pertanian
Klimatologi merupakan ilmu tentang atmosfer. Mirip dengan meteorologi, tapi berbeda dalam kajiannya, meteorologi lebih mengkaji proses di atmosfer sedangkan klimatologi pada hasil akhir dari proses2 atmosfer.
Klimatologi berasal dari bahasa Yunani Klima dan Logos yang masing2 berarti kemiringan (slope) yg di arahkan ke Lintang tempat sedangkan Logos sendiri berarti Ilmu. Jadi definisi Klimatologi adalah ilmu yang mencari gambaran dan penjelasan sifat iklim, mengapa iklim di berbagai tempat di bumi berbeda , dan bagaimana kaitan antara iklim dan dengan aktivitas manusia. Karena klimatologi memerlukan interpretasi dari data2 yang banyak dehingga memerlukan statistik dalam pengerjaannya, orang2 sering juga mengatakan klimatologi sebagai meteorologi statistik (Tjasyono, 2004)
Iklim merupakan salah satu faktor pembatas dalam proses pertumbuhan dan produksi tanaman. Jenis2 dan sifat2 iklim bisa menentukkan jenis2 tanaman yg tumbuh pada suatu daerah serta produksinya.
Oleh karena itu kajian klimatologi dalam bidang pertanian sangat diperlukan. Seiring dengan dengan semakin berkembangnya isu pemanasan global dan akibatnya pada perubahan iklim, membuat sektor pertanian begitu terpukul. Tidak teraturnya perilaku iklim dan perubahan awal musim dan akhir musim seperti musim kemarau dan musim hujan membuat para petani begitu susah untuk merencanakan masa tanam dan masa panen. Untuk daerah tropis Indonesia, hujan merupakan faktor pembatas penting dalam pertumbuhan dan produksi tanaman pertanian.
Selain hujan, unsur iklim lain yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah suhu, angin, kelembaban dan sinar matahari.
Setiap tanaman pasti memerlukan air dalam siklus hidupnya, sedangkan hujan merupakan sumber air utama bagi tanaman. Berubahnya pasokan air bagi tanaman yg disebabkan oleh berubahnya kondisi hujan tentu saja akan mempengaruhi siklus pertumbuhan tanaman. Itu merupakan contoh global pengaruh ikliim terhadap tanaman. Di indonesia sendiri akibat dari perubahan iklim, yaitu timbulnya fenomena El Nino dan La Nina. Fenomena perubahan iklim ini menyebabkan menurunnya produksi kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit bila tidak mendapatkan hujan dalam 3 bulan berturut-turut akan menyebabkan terhambatnya proses pembungaan sehingga produksi kelapa sawit untuk jangka 6 sampai 18 bulan kemudian menurun. Selain itu produksi padi juga menurun akibat dari kekeringan yang berkepanjangan atau terendam banjir. Akan tetapi pada saat fenomea La Nina produksi padi malah meningkat untuk masa tanam musim ke dua.
Selain hujan, ternyata suhu juga bisa menentukkan jenis2 tanaman yg hidup di daerah2 tertentu. Misalnya perbedaan tanaman yang tumbuh di daerah tropis, gurun dan kutub. Indonesia merupakan daerah tropis, perbedaan suhu antara musim hujan dan musim kemarau tidaklah seekstrim perbedaan suhu musim panas dan musim kemarau di daerah2 sub tropis dan kutub. Oleh karena itu untuk daerah tropis, klasifikasi suhu lebih di arahkan pada perbedaan suhu menurut ketinggian tempat. Perbedaan suhu akibat dari ketinggian tempat (elevasi) berpengaruh pada pertumbuhan dan produksi tanaman. Sebagai contoh, tanaman strowbery akan berproduksi baik pada ketinggian di atas 1000 meter, karena pada ketinggian 1000 meter pebedaan suhu antara siang dan malam sangat kontras dan keadaan seperti inilah yg dibutuhkan oleh tanaman strowbery.
Jadi keeratan hubungan antara klimatologi dengan ilmu pertanian tercermin dengan berkembangnya cabang klimatologi yang khusus dikaitkan dengan kegiatan pertanian, yang disebut sebagai agroklimatologi. Agroklimatologi atau klimatologi pertanian adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara unsur-unsur iklim dengan proses kehidupan tanaman. Yang dipelajari dalam agroklimatologi adalah bagaimana unsur-unsur iklim itu berperan di dalam kehidupan tanaman. Unsur-unsur iklim yang langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman meliputi, curah hujan, kelembaban udara, suhu udara, angin, cahaya dan panjang hari.